Tuesday, December 20, 2016

PERDARAHAN INTRA SEREBRAL (PIS)


Laporan pendahuluan intra serebral

A.     DEFINISI
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).

B.     KLASIFIKASI PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Tipe perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut :
1.      Putaminal Hemorrhage
Antara sindroma klinis perdarahan yang tersering adalah disebabkan oleh perdarahan putaminal dengan terjadinya penekanan pada daerah berdekatan dengan kapsula interna. Gejala dan kelainan neurologic hampir bervariasi berdasarkan kedudukan dan ukuran penekanan. Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif pada hampir duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala mendadak dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala hanya pada 14% kasus dan pada setiap waktu hanya 28%; semua pasien menunjukkan berbagai bentuk defisit motorik dan sekitar 65% mengalami perubahan reaksi terhadap pin-prick. Perdarahan putaminal kecil menyebabkan defisit sedang motorik dan sensori kontralateral. Perdarahan berukuran sedang mula-mula mungkin tampil dengan hemiplegia flaksid, defisit hemisensori, deviasi konjugasi mata pada sisi perdarahan, hemianopia homonim, dan disfasia bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan lalukoma, variasi respirasi, pupil tak berreaksi yang berdilatasi, hilangnya gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan respons Babinski bilateral.
Gejala muntah terjadi hampir setengah daripada penderita. Sakit kepala adalah gejala tersering tetapi tidak seharusnya ada. Dengan jumlah perdarahan yang banyak, penderita dapat segera masuk kepada kondisi stupor dengan hemiplegi dan kondisi penderita akan tampak memburuk dengan berjalannya masa.
Walau bagaimanapun, penderita akan lebih sering mengeluh dengan sakit kepala atau gangguan kepala yang dirasakan pusing. Dalam waktu beberapa menit wajah penderita akan terlihat mencong ke satu sisi, bicara cadel atau aphasia, lemas tangan dan tungkai dan bola mataakan cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekxtremitas yang lemah. Hal ini terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di mana sangat kuat mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat terjadi semakin memburuk dengan munculnya refleks Babinski yang mana pada awalnya dapat muncul unilateral dan kemudian bisa bilateral dengan ekstremitas menjadi flaksid, stimulasi nyeri menghilang, tidak dapat bicara dan memperlihatkan tingkat kesadaran stupor. Karekteristik tingkat keparahan paling parah adalah dengan tanda kompresi batang otak atas (koma); tanda Babinski bilateral; respirasi dalam, irregular atau intermitten; pupil dilatasi dengan posisi tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya kekakuan yang deserebrasi. 
2.      Thalamic Hemorrhage
Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal. Umumnya perdarahan talamus kecil menyebabkan defisit neurologis lebih berat dari perdarahan putaminal. Seperti perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral terjadi bila kapsula internal tertekan. Namun khas dengan hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata yang mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh. Perluasan perdarahan ke subtalamus dan batang otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya gaze vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil namun bereaksi baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong, defisit lapang pandang, dan nistagmus retraksi juga tampak. Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan dan gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat terjadi akibat penekanan jalur CSS.
3.      Perdarahan Pons
Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan dengan perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari perdarahan infratentorial terjadi di pons. Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan fatal. Perdarahan ponting paling umum menyebabkan kematian dari semua perdarahan otak. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.
4.      Perdarahan Serebelum
Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit diketahui. Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan arteri serebeli superior sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke dalam ventrikel IV sering terjadi pada 50% dari kasus perdarahan di serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan distorsi sekunder terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel lateralis sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan intrakranial dan memburuknya keadaan umum penderita. Kematian biasanya disebabkan tekanan dari hematoma yang menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi medula spinalis.
Sindroma klinis perdarahan serebral pertama dijelaskan secara jelas oleh Fisher. Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah, tidak mampu bejalan atau berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan, derajat gangguan neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor etiologi pada kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien dengan perdarahan serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap responsif saat datang; hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi koma dalam 24 jam, dan 75% dalam seminggu sejak onset. Mual dan muntah tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya bioksipital) pada 73%, dan pusing (dizziness) pada 55%. Ketidakmampuan berjalan atau berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi termasuk ataksia langkah (78%), ataksia trunkal (65%), dan ataksia apendikuler ipsilateral (65%). Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer (61%), palsi gaze ipsilateral (54%), nistagmus horizontal (51%), dan miosis (30%). Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan bila ada biasanya disebabkan oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya atau bersamaan. Triad klinis ataksia apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial perifer mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler garis tengah menimbulkan dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis. Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan oftalmoplegia total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid. 
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit karena disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83% dengan oftalmoplegia eksternal yang lengkap, 53% dengan irreguleritas pernafasan, 54% dengan kelemahan fasial ipsilateral. Pupil umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.
5.      Perdarahan Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan Davis. Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien yang koma saat datang. Perdarahan oksipital khas menyebabkan nyeri berat sekitar mata ipsilateral dan hemianopsia yang jelas. Perdarahan temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat bagian anterior telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran yang buruk namun repetisi relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan lengan kontralateral berat, kelemahan muka dantungkai ringan, dan nyeri kepala frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri kepala temporal anterior ('temple') serta defisit hemisensori, terkadang mengenai tubuh ke garis tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit, namun tidak seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut membantu membedakan perdarahan lober dari stroke  jenis lain. Kebanyakan AVM dan tumor memiliki lokasi lober
6.      Perdarahan Intraserebral Akibat Trauma
Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom intraserebral pascatraumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 ml dalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial/bercak).

C.     ETIOLOGI
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi, biasanya berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia, serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.
Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :
1.    Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai aneurisma Charcot Bouchard.
2.    Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah subkortikal lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
3.    Arteriovenous Malformation
Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang hipervaskular.
Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a. lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian. Sedangkan perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang mendapat pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan a. serecelaris inferior anterior.

D.     PATOFISIOLOGI                                  
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70%), di fossa posterior (batang otak dan serebelum) 20% dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.




 
 
E.     GEJALA KLINIS
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang, hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu, pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan gejala terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan pendarahaan.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa, seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit. Menurut Corwin (2009) manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu :
1.      Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan membesarnya hematom.
2.      Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
3.      Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
4.      Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
5.      Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
6.      Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan intra cranium.

1.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dari Intra Cerebral Hematom menurut Sudoyo (2006) adalah sebagai berikut :
a.    Angiografi
b.    Ct scanning
c.    Lumbal pungsi
d.    MRI
e.    Thorax photo
f.     Laboratorium
g.    EKG

2.    PENATALAKSANAAN
Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada orang yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah orang yang mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka yang bertahan hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan dengan waktu. Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic. Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-obatan antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan makin buruk. Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang mengeluarkan darah, mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu penggumpalan darah seperti :
a.    Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b.    Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c.    Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang dilakukan karena operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan penumpukan darah bisa memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak menimbulkan kecacatan yang parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar pituitary atau pada cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah mungkin.
Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral Hematom adalah sebagai berikut :
a.    Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b.    Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom secara bedah.
c.    Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d.    Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e.    Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian diuretik dan obat anti inflamasi.
f.     Pemeriksaan Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium lainnya yang menunjang.

A.    KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.   PENGKAJIAN
a.   Primary Survey (ABCDE)
1)  Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
a)    Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway. Airway (jalan napas) yaitu membersihkan jalan napas dengan memperhatikan kontrol servikal, pasang servikal kollar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal, bersihkan jalan napas dari segala sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi yang patah dan lain-lain. Lakukan intubasi (orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma Scale) < 8, pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak mencapai 90%.
b)    Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
c)    Feel (raba)
2)    Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
a)    Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita dan harus segera di evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara ke dalam paru.
b)    Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
c)    Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat
3)    Circulation dengan kontrol perdarahan
a)    Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk mempertahankan cardiac output walaupun stroke volum menurun
b)    Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik-tekanan diastolik)
c)    Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka timbullah hipotensi
d)    Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan dengan balut tekan pada daerah tersebut
e)    Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan sumpal MAE (Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas atau kain kasa, biarkan cairan atau darah mengalir keluar, karena hal ini membantu mengurangi TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial)
f)     Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya koagulopati dan gangguan irama jantung.
4)    Disability
a)    GCS setelah resusitasi
b)    Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c)    Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak
5)    Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang menutupi tubuh penderita harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan selama pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara log-rolling dengan harus menghindari terjadinya hipotermi (America College of Surgeons ; ATLS)
b.    Secondary Survey
1)    Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan distribusi rambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut, tengkorak, kulit kepala, massa, pembengkakan, nyeri tekan, fontanela (pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan parut, massa), tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid, trakea), mobilitas leher.
2)    Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat diem, terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit pada dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan tactil vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang dihantarkan melalui sistem bronkopulmonal selama seseorang berbicara)  
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan udara (pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapat pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran udara. Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paru-paru dan rongga pleura.
3)    Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi secara stimultan untuk mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan (heaves). Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi jantung mulai area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan area epigastrik 
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi pada area jantung jarang dilakukan karena gambaran jantung dapat dilihat pada hasil foto torak anteroposterior.
4)    Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada ekstremitas bersangkutan, antara lain :
a)    Cedera pembuluh darah.
b)    Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.
c)    Crush injury.
d)    Sindroma kompartemen.
e)    Dislokasi sendi panggul.
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a)    Pusasi arteri tidak teraba.
b)    Pucat (pallor).
c)    Dingin (coolness).
d)    Hilangnya fungsi sensorik dan motorik.
e)    Kadang-kadang disertai hematoma, ”bruit dan thrill”.
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera kepala sedapat mungkin dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang tertunda dapat meningkatkan resiko ARDS (Adult Respiratory Disstress Syndrom) sampai 5 kali lipat. Fiksasi dini pada fraktur tulang panjang yang menyertai cedera kepala dapat menurunkan insidensi ARDS.

2.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.    Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d Tahanan pembuluh darah ;infark
b.    Nyeri kepala akut b.d peningkatan tekanan intracranial (TIK)
c.    Resiko: Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
d.    Kerusakan mobilitas fisik b.d Kelemahan neutronsmiter
e.    Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d kelemahan fisik.
f.     Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan invasi MO.

3.    INTERVENSI
No
Diagnosa Kep
Tujuan
Intervensi
Rasional
1
Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d Tahanan pembuluh darah ;infark
Perfusi jaringan cerebral efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dengan KH:
-    Vital Sign normal.
-    Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK (takikardi, Tekanan darah turun pelan2)
-    GCS E4M5V6
1.   Monitor Vital Sign.
2.   Monitor tingkat kesadaran.
3.   Monitor GCS.
4.   Tentukan faktor penyebab penurunan perfusi cerebral.
5.   Pertahankan posisi tirah baring atau head up to 30°.
6.   Pertahankan lingkungan yang nyaman.
7.   Kolaborasi dengan tim kesehatan. Pemberian terapi oksigen
1.   Identifikasi hipertensi.
2.   Mengetahui perkembangan
3.   Mengetahui perkembangan
4.   Acuan intervensi yang tepat.
5.   Meningkatakan tekanan arteri dan sirkulasi atau perfusi cerebral.

6.   Membuat klien lebih tenang.

2
Nyeri kepala akut b.d peningkatan tekanan intracranial (TIK)
-  Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri terkontrol atau berkurang dengan kriteria hasil :
-  Ekspresi wajah rileks
-  Skala nyeri berkurang
-  Tanda-tanda vital dalam batas normal

1.    Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
2.    Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
3.    Observasi reaksi abnormal dan ketidaknyamanan
4.    Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
5.    Pertahankan tirah baring
6.    Ajarkan tindakan non farmakologi dalam penanganan nyeri
7.    Kolaborasi pemberian analgesic sesuai program
1.   Mengetahui respon autonom tubuh

2.   Menentukan penanganan nyeri secara tepat
3.   Mengetahui tingkah laku ekspresi dalam merespon nyeri
4.   Meminimalkan factor eksternal yang dapat mempengaruhi nyeri
5.   Meningkatkan kualitas tidur dan istirahat
6.   Terapi dalam penanganan nyeri tanpa obat
7.   Terapi penanganan nyeri secara farmakologi
3
Resiko: Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dengan KH:
-    Asupan nutrisi adekuat.
-    BB meningkat.
-    Porsi makan yang disediakan habis.
-    Konjungtiva tidak ananemis.
1.    Kaji kebiasaan makan-makanan yang disukai dan tidak disukai.
2.    Anjurkan klien makan sedikit tapi sering.
3.    Berikan makanan sesuai diet RS.
4.    Pertahankan kebersihan oral.
5.    Kolaborasi dengan ahli gizi.
1.    Menentukan intervensi yang tepat.
2.    Mengurangi rasa bosan sehingga makanan habis.
3.    Agar kebutuhan nutrisi terpenuhi.
4.    Mulut bersih meningkatkan nafsu makan.
5.    Menentukan diet yang sesuai.
4
Kerusakan mobilitas fisik b.d Kelemahan neutronsmiter
Mobilitas meningkat setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam dengan KH:
-    Klien mampu melakukan aktifitas dbn.
-    Kekuatan otot meningkat.
-    Tidak terjadi kontraktur.
1.    Kaji tingkat mobilisasi fisik klien.
2.    Ubah posisi secara periodik.
3.    Lakukan ROM aktif/pasif.
4.    Dukung ekstremitas pada posisi fungsional.
5.    Kolaborasi dengan ahli fisio terapi.
1.    Menentukan intervensi.
2.    Meningkatkan kanyamanan, cegah dikobitas.
3.    Melancarkan sirkulasi.
4.    Mencegah kontaktur.
5.    Menentukan program yang tepat.

5
Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d kelemahan fisik.
Pemenuhan kebutuhan ADL terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam dengan KH:
-    Mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri.
-    Klien dapat beraktivitas secara bertahap.
-    Nadi normal.
1.    Kaji kemampuan ADL.

2.    Dekatkan barang-barang yang dibutuhkan klien.
3.    Motivasi klien untuk melakukan aktivitasa secara bertahap.
4.    Dorong dan dukung aktivitas perawatan diri.
5.    Menganjurkan keluarga untuk membantu klien memenuhi kebutuhan klien.
1.    Mengetahui kemampuan ADL.
2.    Mempermudah pemenuhan ADL.
3.    Meningkatkan kemandirian klien.
4.    Meningkatkan kemandirian klien dan meningkatkan menyamanan.
5.    Pemenuhan kebutuhan klien dapat terpenuhi.
6
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan invasi MO
    Mempertahankan nonmotermia, bebas tanda-tanda infeksi
o Mencapai penyembuhan luka (craniotomi) tepat pada waktunya.
1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptic.

2.  pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
3.  catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.

4.  Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

5.  Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran napas bagian atas.

6.  Berikan antibiotik sesuai indikasi.

7.  Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi
1.   Cara pertama untuk menghidari infeksi nosokomial.
2.   Deteksi dini perkembangan infeksi
3.   memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya
4.   Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
5.   Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”.
6.   Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (luka, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko terjasdinya infeksi nasokomial).
7.   Kultur/sensivitas. Pewarnaan Gram dapat dilakukan untuk memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.






Artikel Terkait


EmoticonEmoticon