A. DEFINISI
Perdarahan
intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan oleh
pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di
bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di
ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat
terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar
intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari otak,
seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).
B. KLASIFIKASI
PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Tipe
perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut :
1. Putaminal
Hemorrhage
Antara sindroma klinis perdarahan yang
tersering adalah disebabkan oleh perdarahan putaminal dengan terjadinya
penekanan pada daerah berdekatan dengan kapsula interna. Gejala dan kelainan
neurologic hampir bervariasi berdasarkan kedudukan dan ukuran penekanan.
Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif pada hampir
duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala mendadak dan
hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala hanya
pada 14% kasus dan pada setiap waktu hanya 28%; semua pasien menunjukkan
berbagai bentuk defisit motorik dan sekitar 65% mengalami perubahan
reaksi terhadap pin-prick. Perdarahan putaminal kecil menyebabkan defisit
sedang motorik dan sensori kontralateral. Perdarahan berukuran sedang
mula-mula mungkin tampil dengan hemiplegia flaksid, defisit hemisensori,
deviasi konjugasi mata pada sisi perdarahan, hemianopia homonim, dan disfasia
bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi menjadi perdarahan masif
berakibat stupor dan lalukoma, variasi respirasi, pupil tak berreaksi yang
berdilatasi, hilangnya gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan respons
Babinski bilateral.
Gejala muntah terjadi hampir setengah
daripada penderita. Sakit kepala adalah gejala tersering tetapi tidak
seharusnya ada. Dengan jumlah perdarahan yang banyak, penderita dapat segera
masuk kepada kondisi stupor dengan hemiplegi dan kondisi penderita akan
tampak memburuk dengan berjalannya masa.
Walau bagaimanapun, penderita akan
lebih sering mengeluh dengan sakit kepala atau gangguan kepala yang dirasakan
pusing. Dalam waktu beberapa menit wajah penderita akan terlihat mencong ke
satu sisi, bicara cadel atau aphasia, lemas tangan dan tungkai dan bola
mataakan cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekxtremitas yang lemah. Hal ini
terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di mana sangat kuat
mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat terjadi semakin
memburuk dengan munculnya refleks Babinski yang mana pada awalnya dapat muncul
unilateral dan kemudian bisa bilateral dengan ekstremitas menjadi flaksid,
stimulasi nyeri menghilang, tidak dapat bicara dan memperlihatkan tingkat
kesadaran stupor. Karekteristik tingkat keparahan paling parah adalah dengan
tanda kompresi batang otak atas (koma); tanda Babinski bilateral;
respirasi dalam, irregular atau intermitten; pupil dilatasi dengan posisi
tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya kekakuan yang deserebrasi.
2. Thalamic
Hemorrhage
Sindroma klinis akibat perdarahan
talamus sudah dikenal. Umumnya perdarahan talamus kecil menyebabkan
defisit neurologis lebih berat dari perdarahan putaminal. Seperti
perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral terjadi bila kapsula
internal tertekan. Namun khas dengan hilangnya hemisensori kontralateral yang
nyata yang mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh. Perluasan perdarahan ke
subtalamus dan batang otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya
gaze vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil namun bereaksi baik atau
lemah. Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong,
defisit lapang pandang, dan nistagmus retraksi juga tampak. Anosognosia yang
berkaitan dengan perdarahan sisi kanan dan gangguan bicara yang berhubungan
dengan lesi sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala terjadi pada 20-40 %
pasien. Hidrosefalus dapat terjadi akibat penekanan jalur CSS.
3. Perdarahan
Pons
Perdarahan pons merupakan hal yang
jarang terjadi dibandingkan dengan perdarahan intraserebral supratentorial,
tetapi 50% dari perdarahan infratentorial terjadi di pons. Gejala klinik yang
sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi
koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan fatal.
Perdarahan ponting paling umum menyebabkan kematian dari semua perdarahan otak.
Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1mm)
namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial,
kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.
4. Perdarahan
Serebelum
Lokasi yang pasti dari tempat asal
perdarahan di serebelum sulit diketahui. Tampaknya sering terjadi di daerah
nukleus dentatus dengan arteri serebeli superior sebagai suplai utama.
Perluasan perdarahan ke dalam ventrikel IV sering terjadi pada 50% dari kasus
perdarahan di serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan distorsi
sekunder terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan
serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel
lateralis sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan
intrakranial dan memburuknya keadaan umum penderita. Kematian biasanya
disebabkan tekanan dari hematoma yang menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi
medula spinalis.
Sindroma klinis perdarahan serebral
pertama dijelaskan secara jelas oleh Fisher. Yang khas adalah onset mendadak
dari mual, muntah, tidak mampu bejalan atau berdiri. Tergantung dari evolusi
perdarahan, derajat gangguan neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor
etiologi pada kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien dengan perdarahan
serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap responsif
saat datang; hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi koma dalam 24 jam, dan 75%
dalam seminggu sejak onset. Mual dan muntah tampil pada 95%, nyeri kepala
(umumnya bioksipital) pada 73%, dan pusing (dizziness) pada 55%.
Ketidakmampuan berjalan atau berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma,
tanda-tanda serebeler umum terjadi termasuk ataksia langkah (78%), ataksia
trunkal (65%), dan ataksia apendikuler ipsilateral (65%). Temuan lain adalah
palsi saraf fasial perifer (61%), palsi gaze ipsilateral (54%), nistagmus
horizontal (51%), dan miosis (30%). Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan bila
ada biasanya disebabkan oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya atau
bersamaan. Triad klinis ataksia apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi
fasial perifer mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler
garis tengah menimbulkan dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis. Umumnya
perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan oftalmoplegia total,
arefleksia, dan kuadriplegia flaksid.
Pada pasien koma, diagnosis klinis
perdarahan serebeler lebih sulit karena disfungsi batang otak berat. Dari
pasien koma, 83% dengan oftalmoplegia eksternal yang lengkap, 53% dengan
irreguleritas pernafasan, 54% dengan kelemahan fasial ipsilateral. Pupil
umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.
5. Perdarahan
Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober
dijelaskan Ropper dan Davis. Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 %
kasus, dan 4 % pasien yang koma saat datang. Perdarahan oksipital khas
menyebabkan nyeri berat sekitar mata ipsilateral dan hemianopsia yang jelas.
Perdarahan temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat bagian
anterior telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran yang buruk
namun repetisi relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan lengan
kontralateral berat, kelemahan muka dantungkai ringan, dan nyeri kepala
frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri kepala temporal anterior
('temple') serta defisit hemisensori, terkadang mengenai tubuh ke garis tengah.
Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit, namun tidak seketika bersama
dengan satu dari sindroma tersebut membantu membedakan perdarahan lober dari
stroke jenis lain. Kebanyakan AVM dan tumor memiliki lokasi
lober
6. Perdarahan
Intraserebral Akibat Trauma
Adalah perdarahan yang terjadi di
dalam jaringan otak. Hematom intraserebral pascatraumatik merupkan koleksi
darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional
terhadap pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera
penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral
hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 ml dalam substansi
otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial/bercak).
C. ETIOLOGI
Hipertensi
merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan intraserebral spontan yang
tidak berhubungan dengan hipertensi, biasanya berhubungan dengan diskrasia
darah, hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan
dengan antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau
trombositopenia, serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.
Perdarahan
intraserebral dapat disebabkan oleh :
1. Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan
lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang memperlemah dinding pembuluh darah
yang kemudian menyebabkan ruptur intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya
dapat menyebabkan mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat juga
menimbulkan sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang tersebar di
sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai aneurisma Charcot Bouchard.
2. Cerebral
Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah
suatu perubahan vaskular yang unik ditandai oleh adanya deposit amiloid di
dalam tunika media dan tunika adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di
hemisfer serebral. Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri
kortical superfisial dan arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih
sering di daerah subkortikal lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit
amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan
terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy
dianggap faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral
pada penderita lanjut usia.
3. Arteriovenous
Malformation
Neoplasma intrakranial. Akibat
nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang hipervaskular.
Perdarahan di putamen, thalamus, dan
pons biasanya akibat ruptur a. lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian. Sedangkan
perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang
mendapat pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan a. serecelaris
inferior anterior.
D. PATOFISIOLOGI
Kasus
PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70%), di fossa posterior (batang
otak dan serebelum) 20% dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). Gambaran
patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak
dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya
terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema pada
struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan
atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya,
maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak,
kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan
otak lainnya.
|
E. GEJALA
KLINIS
Secara
umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah di
dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur
sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut.
Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini
bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya
perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. dua
pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan perdarahan
ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek. Sakit
kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial
dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang
disertai dengan sakit kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak
adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila
dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid sebab
hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai
pada saat onset PIS.
Intracerebral
hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang, hal itu
diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun
begitu, pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan
gejala terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan
pendarahaan.
Beberapa
gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa, seringkali
mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa
berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang.
Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa
menjadi tidak normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan
kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit.
Menurut Corwin (2009) manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu
:
1. Kesadaran mungkin akan segera
hilang, atau bertahap seiring dengan membesarnya hematom.
2. Pola pernapasaan dapat secara
progresif menjadi abnormal.
3. Respon pupil mungkin lenyap
atau menjadi abnormal.
4. Dapat timbul muntah-muntah
akibat peningkatan tekanan intra cranium.
5. Perubahan perilaku kognitif
dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau
secara lambat.
6. Nyeri kepala dapat muncul
segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan intra cranium.
1. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dari Intra
Cerebral Hematom menurut Sudoyo (2006) adalah sebagai berikut :
a. Angiografi
b. Ct scanning
c. Lumbal pungsi
d. MRI
e. Thorax photo
f. Laboratorium
g. EKG
2. PENATALAKSANAAN
Pendarahan intracerebral lebih mungkin
menjadi fatal dibandingkan stroke ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar
dan catastrophic, khususnya pada orang yang mengalami tekanan darah tinggi yang
kronis. Lebih dari setengah orang yang mengalami pendarahan besar meninggal
dalam beberapa hari. Mereka yang bertahan hidup biasanya kembali sadar dan
beberapa fungsi otak bersamaan dengan waktu. Meskipun begitu, kebanyakan tidak
sembuh seluruhnya fungsi otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan
intracerebral berbeda dari stroke ischemic. Anticoagulant (seperti heparin dan
warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-obatan antiplatelet (seperti
aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan makin buruk. Jika orang yang
menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang mengeluarkan darah, mereka bisa
memerlukan pengobatan yang membantu penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan
secara infuse.
b. Transfusi atau platelet.
Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan pengangkatan platelet
(plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk
sintetis yang serupa pada protein di dalam darah yang membantu darah untuk
menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan
darah dan menghilangkan tekanan di dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa
menyelamatkan hidup, jarang dilakukan karena operasi itu sendiri bisa merusak
otak. Juga, pengangkatan penumpukan darah bisa memicu pendarahan lebih, lebih
lanjut kerusakan otak menimbulkan kecacatan yang parah. Meskipun begitu,
operasi ini kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar pituitary atau
pada cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah mungkin.
Menurut Corwin (2009) menyebutkan
penatalaksanaan untuk Intra Cerebral Hematom adalah sebagai berikut :
a.
Observasi
dan tirah baring terlalu lama.
b.
Mungkin
diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom secara bedah.
c.
Mungkin
diperlukan ventilasi mekanis.
d.
Untuk
cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e.
Metode-metode
untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian diuretik dan obat
anti inflamasi.
f.
Pemeriksaan
Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium lainnya yang
menunjang.
A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.
PENGKAJIAN
a.
Primary
Survey (ABCDE)
1) Airway.
Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
a)
Look (lihat) apakah
penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun. Agitasi memberi kesan
adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia.
Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan
dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat
adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada,
merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway. Airway (jalan napas) yaitu
membersihkan jalan napas dengan memperhatikan kontrol servikal, pasang servikal
kollar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal,
bersihkan jalan napas dari segala sumbatan, benda asing, darah dari fraktur
maksilofasial, gigi yang patah dan lain-lain. Lakukan intubasi (orotrakeal
tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma Scale) < 8, pertimbangan juga untuk GCS
9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak mencapai 90%.
b)
Listen (dengar) adanya
suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara napas tambahan) adalah
pernapasan yang tersumbat.
c)
Feel (raba)
2)
Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
a) Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris
dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting)
atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored
breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi
penderita dan harus segera di evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi
terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau
udara ke dalam paru.
b) Listen (dengar) adanya
pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau tidak terdengarnya suara
napas pada satu atau hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada.
Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu mungkin
menunjukkan kekurangan oksigen.
c) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu
memberikan informasi tentang saturasi oksigen
dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang
adekuat
3)
Circulation dengan kontrol perdarahan
a)
Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi
untuk mempertahankan cardiac output walaupun stroke volum menurun
b)
Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan
nadi (tekanan sistolik-tekanan diastolik)
c)
Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat
dipertahankan lagi, maka timbullah hipotensi
d)
Perdarahan yang tampak dari luar harus segera
dihentikan dengan balut tekan pada daerah tersebut
e)
Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan
sumpal MAE (Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas atau kain kasa, biarkan
cairan atau darah mengalir keluar, karena hal ini membantu mengurangi TTIK
(Tekanan Tinggi Intra Kranial)
f)
Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk
menghindari terjadinya koagulopati dan gangguan irama jantung.
4)
Disability
a)
GCS setelah resusitasi
b)
Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c)
Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau
tidak
5)
Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang
menutupi tubuh penderita harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan selama
pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara log-rolling
dengan harus menghindari terjadinya hipotermi (America College of Surgeons ;
ATLS)
b.
Secondary
Survey
1)
Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi
(kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan distribusi rambut kulit kepala),
palpasi (keadaan rambut, tengkorak, kulit kepala, massa, pembengkakan, nyeri
tekan, fontanela (pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk
kulit (warna, pembengkakan, jaringan parut, massa), tiroid), palpasi (kelenjar
limpe, kelenjar tiroid, trakea), mobilitas leher.
2)
Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi
terutama mengenai postur, bentuk dan kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit.
Inspeksi dada dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat diem,
terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan pernapasan. Pengamatan
dada saat bergerak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi, sifat
dan ritme/irama pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan
tujuan untuk mengkaji keadaan kulit pada dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan tactil
vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang dihantarkan melalui sistem
bronkopulmonal selama seseorang berbicara)
Perkusi. Perhatikan
adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan udara (pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapat pada rongga
pleura.
Auskultasi. Berguna
untuk mengkaji aliran udara melalui batang trakeobronkeal dan untuk mengetahui
adanya sumbatan aliran udara. Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi
paru-paru dan rongga pleura.
3)
Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan
palpasi secara stimultan untuk mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau
dorongan (heaves). Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur
anatomi jantung mulai area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis, area
apikal dan area epigastrik
Perkusi. Dilakukan untuk
mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan tetapi dengan adanya foto rontgen,
maka perkusi pada area jantung jarang dilakukan karena gambaran jantung dapat dilihat
pada hasil foto torak anteroposterior.
4)
Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada
ekstremitas bersangkutan, antara lain :
a)
Cedera pembuluh darah.
b)
Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.
c)
Crush injury.
d)
Sindroma kompartemen.
e)
Dislokasi sendi panggul.
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a) Pusasi
arteri tidak teraba.
b)
Pucat (pallor).
c)
Dingin (coolness).
d)
Hilangnya fungsi sensorik dan motorik.
e)
Kadang-kadang disertai hematoma, ”bruit dan thrill”.
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera
kepala sedapat mungkin dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang tertunda
dapat meningkatkan resiko ARDS (Adult Respiratory Disstress Syndrom) sampai 5
kali lipat. Fiksasi dini pada fraktur tulang panjang yang menyertai cedera
kepala dapat menurunkan insidensi ARDS.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
Ketidakefektifan
perfusi jaringan cerebral b.d Tahanan pembuluh darah ;infark
b.
Nyeri
kepala akut b.d peningkatan tekanan intracranial (TIK)
c.
Resiko:
Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
d.
Kerusakan
mobilitas fisik b.d Kelemahan neutronsmiter
e.
Gangguan
pemenuhan kebutuhan ADL b.d kelemahan fisik.
f.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan invasi MO.
3. INTERVENSI
No
|
Diagnosa Kep
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Ketidakefektifan perfusi jaringan
cerebral b.d Tahanan pembuluh darah ;infark
|
Perfusi jaringan cerebral efektif
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dengan KH:
- Vital Sign normal.
- Tidak ada tanda-tanda
peningkatan TIK (takikardi, Tekanan darah turun pelan2)
-
GCS
E4M5V6
|
1.
Monitor
Vital Sign.
2.
Monitor
tingkat kesadaran.
3.
Monitor
GCS.
4.
Tentukan
faktor penyebab penurunan perfusi cerebral.
5.
Pertahankan
posisi tirah baring atau head up to 30°.
6.
Pertahankan
lingkungan yang nyaman.
7. Kolaborasi dengan tim
kesehatan. Pemberian terapi oksigen
|
1.
Identifikasi
hipertensi.
2.
Mengetahui
perkembangan
3.
Mengetahui
perkembangan
4.
Acuan
intervensi yang tepat.
5.
Meningkatakan
tekanan arteri dan sirkulasi atau perfusi cerebral.
6.
Membuat
klien lebih tenang.
|
2
|
Nyeri kepala akut b.d peningkatan
tekanan intracranial (TIK)
|
- Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri terkontrol atau berkurang dengan
kriteria hasil :
- Ekspresi wajah rileks
- Skala nyeri berkurang
- Tanda-tanda vital dalam
batas normal
|
1.
Observasi
keadaan umum dan tanda-tanda vital
2.
Lakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif
3.
Observasi
reaksi abnormal dan ketidaknyamanan
4.
Control
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
5.
Pertahankan
tirah baring
6.
Ajarkan
tindakan non farmakologi dalam penanganan nyeri
7. Kolaborasi pemberian
analgesic sesuai program
|
1.
Mengetahui
respon autonom tubuh
2.
Menentukan
penanganan nyeri secara tepat
3.
Mengetahui
tingkah laku ekspresi dalam merespon nyeri
4.
Meminimalkan
factor eksternal yang dapat mempengaruhi nyeri
5.
Meningkatkan
kualitas tidur dan istirahat
6.
Terapi
dalam penanganan nyeri tanpa obat
7. Terapi penanganan nyeri
secara farmakologi
|
3
|
Resiko: Ketidakseimbangan kebutuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
|
Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dengan KH:
- Asupan nutrisi adekuat.
- BB meningkat.
- Porsi makan yang disediakan
habis.
-
Konjungtiva
tidak ananemis.
|
1.
Kaji
kebiasaan makan-makanan yang disukai dan tidak disukai.
2.
Anjurkan
klien makan sedikit tapi sering.
3.
Berikan
makanan sesuai diet RS.
4.
Pertahankan
kebersihan oral.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi.
|
1.
Menentukan
intervensi yang tepat.
2.
Mengurangi
rasa bosan sehingga makanan habis.
3.
Agar
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
4.
Mulut
bersih meningkatkan nafsu makan.
5. Menentukan diet yang sesuai.
|
4
|
Kerusakan mobilitas fisik b.d
Kelemahan neutronsmiter
|
Mobilitas meningkat setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam dengan KH:
- Klien mampu melakukan
aktifitas dbn.
- Kekuatan otot meningkat.
-
Tidak
terjadi kontraktur.
|
1.
Kaji
tingkat mobilisasi fisik klien.
2.
Ubah
posisi secara periodik.
3.
Lakukan
ROM aktif/pasif.
4.
Dukung
ekstremitas pada posisi fungsional.
5. Kolaborasi dengan ahli fisio
terapi.
|
1.
Menentukan
intervensi.
2.
Meningkatkan
kanyamanan, cegah dikobitas.
3.
Melancarkan
sirkulasi.
4.
Mencegah
kontaktur.
5.
Menentukan
program yang tepat.
|
5
|
Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d
kelemahan fisik.
|
Pemenuhan kebutuhan ADL terpenuhi
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam dengan KH:
- Mampu memenuhi kebutuhan
secara mandiri.
- Klien dapat beraktivitas
secara bertahap.
-
Nadi
normal.
|
1.
Kaji
kemampuan ADL.
2.
Dekatkan
barang-barang yang dibutuhkan klien.
3.
Motivasi
klien untuk melakukan aktivitasa secara bertahap.
4.
Dorong
dan dukung aktivitas perawatan diri.
5. Menganjurkan keluarga untuk
membantu klien memenuhi kebutuhan klien.
|
1.
Mengetahui
kemampuan ADL.
2.
Mempermudah
pemenuhan ADL.
3.
Meningkatkan
kemandirian klien.
4.
Meningkatkan
kemandirian klien dan meningkatkan menyamanan.
5. Pemenuhan kebutuhan klien
dapat terpenuhi.
|
6
|
Resiko tinggi terhadap
infeksi berhubungan dengan invasi MO
|
Mempertahankan nonmotermia, bebas tanda-tanda infeksi
o Mencapai penyembuhan
luka (craniotomi) tepat pada waktunya.
|
1.
Berikan perawatan aseptik dan antiseptic.
2. pertahankan
teknik cuci tangan yang baik.
3. catat
karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
4. Pantau suhu
tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan kesadaran).
5. Batasi
pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami
infeksi saluran napas bagian atas.
6. Berikan
antibiotik sesuai indikasi.
7. Ambil bahan
pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi
|
1.
Cara pertama untuk menghidari infeksi nosokomial.
2.
Deteksi dini perkembangan infeksi
3.
memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya
4.
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
5.
Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”.
6.
Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami
trauma (luka, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan risiko terjasdinya infeksi nasokomial).
7. Kultur/sensivitas.
Pewarnaan Gram dapat dilakukan untuk memastikan adanya infeksi dan
mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang
sesuai.
|
EmoticonEmoticon