HOSPITALISASI PADA ANAK
Konsep Hospitalisasi
1. Pengertian
Hospitalisasi adalah penempatan pasien di rumah sakit untuk penelitian, diagnosis dan pengobatan (Scott, 2010).
Hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan (Supartini, 2004).
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan asing, yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak, orang tua, maupun keluarga (Whaley&Wong,2002).
Menurut WHO Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi individu karena stressor yang dihadapi dapat menimbulkan perasaan tidak aman, seperti:
1. Lingkungan yang asing
2. Berpisah dengan orang yang berarti
3. Kurang informasi
4. Kehilangan kebebasan dan kemandirian
5. Pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, semakin sering berhubungan dengan rumah sakit, maka bentuk kecemasan semakin kecil atau malah sebaliknya.
6. Perilaku petugas Rumah Sakit.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang ditandai dengan adanya beberapa perubahan psikis yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani perawatan dan dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada anak dan orang tua.
2. Gambaran Hospitalisasi
Dirawat di rumah sakit adalah kondisi yang tidak menyenangkan bagi anak. Wong, et. al .(2009) menyebutkan bahwa saat berada di rumah sakit, anak berada di lingkungan yang asing dengan berbagai peralatan kedokteran yang menakutkan, bertemu dengan orang-orang asing, menjalani prosedur medis yang menyakitkan sering membuat anak cemas dan ketakutan.
3. Dampak Hospitalisasi Bagi Anak Dan Orang Tua
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi setiap orang. Khususnya hospitalisasi pada anak merupakan stressor bagi anak itu sendiri maupun terhadap orang tua atau keluarga. Stress pada anak disebabkan karena mereka tidak mengerti mengapa mereka di rawat atau mengapa mereka terluka. Lingkungan yang asing, kebiasaan-kebiasaan yang berbeda, perpisahan dengan keluarga merupakan pengalaman yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Stress akibat hospitalisasi akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman baik pada anak maupun pada keluarga, hal ini akan memacu anak untuk menggunakan mekanisme koping dalam mengatasi stress. Jika anak tidak dapat menangani stress dapat berkembang menjadi krisis. (Supartini, 2004).
Dengan mengerti kebutuhan anak sesuai dengan tahap perkembangannya dan mampu memenuhi kebutuhan tersebut, perawat mampu mengurangi stress akibat hospitalisasi dan dapat meningkatkan perkembangan anak ke arah yang normal (Nursalam, 2005).
a. Reaksi anak terhadap hospitalisasi
Anak akan menunjukkan berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi. Reksi tersebut bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi sesuai dengan tahapan perkembangan anak :
1) Masa Bayi (0 - 1 Tahun)
Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada bayi usia 6 bulan sulit untuk memahami secara maksimal bagaimana reaksi bayi bila dirawat, karena bayi belum dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya. Pada bayi yang usianya lebih dari 6 bulan terjadi stranger anxiety atau cemas apabila berhadapan dengan orang yang tidak dikenal. Reaksi yang sering muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety.
Disamping itu bayi juga telah merasa memiliki ibunya, sehingga bila berpisah dengan ibunya akan menimbulkan separation anxiety (cemas akan berpisah). Hal ini akan kelihatan jika bayi ditinggalkan oleh ibunya, maka akan menangis dan sangat ketergantungan pada ibunya. Respons terhadap nyeri atau adanya luka biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
2) Masa Todler (2 - 3 tahun)
Anak usia todler belum mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang memadai dan pengertian terhadap realita terbatas. Pada usia ini anak akan bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stressnya. Sumber stress yang utama adalah analityc depresion (cemas akibat perpisahan). Terdapat 3 tahap respons perilaku pada anak ditahap ini, yaitu tahap protes (Protest), putus asa (Despair), dan penolakan/denial (Detachment).
Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap penolakan/Denial, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya.
Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada kemampuan sebelumnya atau regresi. Terhadap perlukaan yang dialami atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan inpasive, seperti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan meringis, menggigit bibirnya, dan memukul. Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri dan mengkomunikasikan rasa nyerinya.
3) Masa Prasekolah (3 – 6 Tahun)
Anak usia Prasekolah telah dapat menerima perpisahan dengan orang tuanya dan juga telah dapat membentuk rasa percayaan dengan orang lain. Walaupun demikian anak tetap membutuhkan perlindungan dari keluarganya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya, hal ini terjadi karena adanya pembatas aktivitas sehari-hari dan karena kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua.
4) Masa Sekolah (6 – 12 Tahun)
Anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit akan merasa perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya, takut kehilangan keterampilan merasa kesepian dan sendiri. Anak membutuhkan rasa aman dan perlindungan dari orang tua namun tidak selalu ditemani oleh orang tua.
Pada usia ini anak akan berusaha Independen dan Produktif. Akibat dirawat di rumah sakit akan menyebabkan perasaan kehilangan kontrol dan kekuatan. Hal ini terjadi karena adanya perubahan dalam peran, kelemahan fisik, takut mati dan kehilangan kegiatan dalam kelompok serta akibat kegiatan rutin rumah sakit seperti bedrest, penggunaan pispot, kurangnya privacy, pemakaian kursi roda, dll.
Pada usia ini anak telah dapat mengekspresikan perasaannya dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri. Anak akan berusaha mengontrol tingkah lakunya pada waktu merasa nyeri/sakit dengan cara menggigit bibir atau menggenggam sesuatu dengan erat. Anak ingin tahu alasan tindakan yang dilakukan pada dirinya, sehingga ia selalu mengamati apa yang dikatakan perawat.
5) Masa Remaja (12 – 18 Tahun)
Anak usia remaja memersepsikan perawatan di rumah sakit sebagai suatu penyebab timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya.
Sakit dan dirawat merupakan ancaman terhadap identitas diri, perkembangan dan kemampuan anak. Reaksi yang timbul bila anak remaja dirawat ia akan merasa kebebasannya terancam sehingga anak tidak kooperatif, menarik diri, marah dan frustasi.
Remaja sangat cepat mengalami perubahan body image selama perkembangannya. Adanya perubahan dalam body image akibat penyakit/pembedahan dapat menimbulkan stress atau perasaan tidak aman, cemas akan berespon dengan banyak bertanya, menarik diri dan menolak kehadiran orang lain (Supartini, 2004).
b. Reaksi Orang Tua Terhadap Hospitalisasi
Perawatan anak di rumah sakit tidak hanya menimbulkan masalah bagi anak, tetapi juga bagi orang tua (Supartini, 2004). Hospitalisasi merupakan situasi yang kurang nyaman bagi orang tua. Mereka dihadapkan pada lingkungan yang asing sehingga berbagai reaksi akan muncul. Reaksi orang tua ketika anak yang dirawat di rumah sakit menurut Nursalam, dkk (2005) yaitu:
1) Penolakan/Ketidak Percayaan (denial/disbelief)
Secara umum reaksi pertama yang akan diperlihatkan orang tua adalah menolak dan tidak percaya. Reaksi ini akan muncul ketika pertama kali mengetahui anak yang harus dirawat di rumah sakit dan hal ini terjadi terutama bila anak tiba-tiba sakit serius.
2) Marah dan rasa bersalah
Setelah mengetahui bahwa anaknya sakit, maka reaksi orang tua adalah marah dan menyalahkan dirinya sendiri. Mereka merasa tidak merawat anaknya dengan benar, mereka mengingat-ingat kembali mengenai hal yang telah mereka lakukan yang kemungkinan dapat mencegah anaknya agar tidak jatuh sakit, atau mengingat kembali tentang hal-hal yang menyebabkan anaknya sakit.
Dilain pihak, orang tua merasa bersalah dan bertanggung jawab atau merasa sebagai penyebab sakit pada anak sehingga harus dirawat. Mereka merasa kurang waspada saat anak sakit sehingga terlambat untuk membawa ke rumah sakit yang menyebabkan anak harus dirawat dengan penyakit yang lebih berat dan waktu perawatan yang lama.
3) Ketakutan, cemas, dan frustasi
Ketakutan dan rasa cemas dihubungkan dengan seriusnya penyakit dan tipe prosedur medis. Frustasi dihubungkan dengan kurangnya informasi mengenai prosedur dan pengobatan, atau tidak familiar dengan peraturan rumah sakit.
4) Depresi
Biasanya depresi ini terjadi setelah masa krisis anak berlalu. Ibu sering mengeluh merasa lelah baik secara fisik maupun mental. Orang tua mulai merasa khawatir terhadap anak-anak mereka yang lain, yang dirawat oleh anggota keluarga lainnya, oleh teman atau tetangga. Hal-hal lain yang membuat orang tua cemas dan depresi adalah kesehatan anaknya di masa-masa akan datang, misalnya efek dari prosedur pengobatan dan juga biaya pengobatan.
Selain itu dalam penelitian Hallstrom dan Elander (1997) sebagaimana dikutip oleh Supartini (2004), menunjukkan bahwa orang tua mengalami kecemasan yang tinggi saat perawatan anaknya di rumah sakit walaupun beberapa orang tua juga dilaporkan ada yang tidak mengalami cemas karena perawatan anaknya dirasakan dapat mengatasi permasalahannya. Bahkan dalam penelitian Tiedeman (1997) sebagaimana dikutip oleh Supartini (2004), menunjukkan bahwa pada saat mendengarkan keputusan dokter tentang diagnosa penyakit anaknya merupakan kejadian yang sangat membuat stress dan cemas orang tua. Brewis dalam Supartini (2004), menambahkan bahwa rasa takut pada orang tua selama perawatan anak di rumah sakit, disebabkan terutama pada kondisi sakit anak yang terminal karena takut akan kehilangan anak yang dicintainya dan juga adanya perasaan berduka.
4. Pencegahan Dampak Hospitalisasi
Dirawat di rumah sakit bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan pengalaman yang mengerikan bagi anak-anak. Anak seringkali mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan selama di rumah sakit, mulai dari lingkungan rumah sakit yang asing, serta pengobatan maupun pemeriksaan yang kadang kala menyakitkan bagi si anak. Oleh karena itu, peran perawat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan dampak tersebut.
1) Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga
Dampak perpisahan dari keluarga, anak mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang, gangguan ini akan menghambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
2) Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada anak
Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak diharapkan anak mampu mandiri dalam kehidupannya. Anak akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas sehari-hari, selalu bersikap waspada dalam segala hal. Serta pendidikan terhadap kemampuan dan keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan anak.
3) Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak psikologis)
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam keperawatan anak. Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi dapat dikurangi melalui berbagai teknik misalnya distraksi, relaksasi, imaginary. Apabila tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung lama pada anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
4) Tidak melakukan kekerasan pada anak
Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan akan terhambat, dengan demikian tindakan kekerasan pada anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat kondisi anak.
5) Modifikasi Lingkungan Fisik
Melalui modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa anak dapat meningkatkan keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan anak sehingga anak selalu berkembang dan merasa nyaman di lingkungannya (Aziz, 2005).
EmoticonEmoticon