Friday, October 13, 2017

LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI


laporan pendahuluan pada sistem persyarafan/gangguan konduksi epilepsi

Laporan Pendahuluan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persarafan (Gangguan Konduksi) Epilepsi
 
I. KONSEP PENYAKIT
 
A. PENGERTIAN
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988)
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala- gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi. Serangan ini ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba- tiba pula (Mansjoer Arief, 1999).
Menurut Smeltzer (2001) pengertian epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikan oleh kejang berulang.

B. ETIOLOGI
Menurut (Mansjoer, 2000), penyebab epilepsi antara lain :
1. Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik.
2. Faktor    herediter:    ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibriomatosis,    angiomatosis ensepalo- trigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Faktor genetik: pada kejang demam dan breath holding spells
4. Kelainan kongenital otak: atropi, forensepali, agenesis korfus kalosum.
5. Gangguan metabolik: Hipoglikemia, hipokalsimia, hiponatremia, hipernatremia.
6. Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma: Kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.
8. Neoplasma otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, mal formasi, penyakit kolagen.
10. Keracunan: timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air.
11. Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon,  degenerasi serebral.

C. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
E. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
• Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.
• Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.
• Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.
• Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
• Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
• Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.
• Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11
• Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah
kejang demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.

G. KOMPLIKASI 
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 )

II. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN EPILEPSI
 
A. Pengkajian (Riwayat Kesehatan, Pemeriksaan Fisik, Diagnostik Px)
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada.
Untuk melakukan langkah pertama ini diperlukan pengetahuan dan kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat diantaranya pengetahuan tentang kebutuhan atau system biopsikososial dan spiritual bagi manusia yang memandang manusia dari aspek biologis, psikologis, social dan tinjauan dari aspek spiritual.( Aziz Alimul H, 2004 ). Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
1. Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dibawa ke rumah sakit adalah terjadinya kejang berulang dan penurunan tingkat kesadaran.
2. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang : faktor riwayat penyakit saat ini sangat penting diketahui karena untuk mengetahui pola dari kejang klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, stimulus yang menyebabkan respons kejang, dan seberapa auh aat kejang dengan respons fisik dan psikologis dari klien.
Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari serangan epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah mengalami trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien sudah meminta pertolongan setelah mengalami keluhan.
Penting juga ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya seperti pemakaian obat-obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga.
3. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami keadaan yang sama seperti sekarang seperti mengalami kejang berulang).
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit saraf, dan penyakit lainnya.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menulai respons emosi klien terhadap kondisi pascakejang.nsetelah mengalami kejang klioen sering mengalami perubahan konsep diri yang maladaptif. Klien akan lebih banyak menarik diri, ketakutan akan serangan kejang berulang dan depresi akan prognosis dari kondisi yang akan datang.
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang lain. Tanda yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan involunter,  kontraksi otot atau sekumpulan otot.
b. Sirkulasi
Gejala yaitu iktal : hipertensi (tekanan darah tinggi), peningkatan nadi, sianosis, tanda-tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
c. Integritas ego.
Gejala yaitu stressor eksternal atau internal yang berhubungan keadaan dan atau penanganan peka rangsang, perasaan tidak ada harapan dan tidak berdaya, perubahan dalam berhubungan.Ditandai dengan pelebaran rentang respon emosional.
d. Eliminasi
Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan iktal : peningkatan tekanan kandung kemih, dan tonus sfingter, postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia baik urine maupun fekal.
e. Makanan dan cairan.
Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.Ditandai dengan kerusakan jaringan lunak dan gigi (cedera selama kejang).
f. Neurosensori
Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan, pusing dan memliki riwayat trauma kepala, anoksia, infeksi cerebral, adanya aura (rangsangan audiovisiual,auditorius, area halusinogenik). Ditandai dengan kelemahan otot, paralisis, kejang umum, kejang parsial (kompleks), kejang parsial (sederhana).
g. Nyeri dan kenyamanan
Gejalanya yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal paroksismal selama fase iktal.Ditandai dengan sikap atau tingkah laku yang hati-hati, distraksi, perubahan tonus otot.
h. Pernafasan
Gejalanya yaitu fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat dan dangkal, peningkatan sekresi mucus, fase postiktal apnea.
i. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi.Ditandai dengan trauma pada jaringan lunak, ekimosis, penurunan kesadaran, kekuatan tonus otot secara menyeluruh.
j. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau lingkungan sosialnya melakukan pembatasan, penghindaran terhadap kontak sosial.
k. Penyuluhan dan pembelajaran
Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga, penggunaan obat maupun ketergantungan obat termasuk alkohol.
6. Pemeriksaan fisik
Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada awal pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penuruna kesadaran.
Pengkajian untuk peristiwa kejang perlu dikaji tentang: Bagaimana kejang sering terjadi pada klien, tipe pergerakan atau aktifitas, berapa lama kejang berlangsung, diskripsi aura yang menimbulkan peristiwa, status poskial, lamanya waktu klien untuk kembali kejang, adanya inkontinen selama kejang. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsi disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
c. B3 (Brain)
Peningkatan B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkaian pada sistem lainnya. Tingkat kesadaran: Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.
Fungsi serebral, Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung keginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
f. B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktifitas perawatan diri.

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status keehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah.(Nursalam, 2001).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi menurut Widagdo, wahyu. 2008, Arif, Muttaqin. 2011, Fransisca B. Batticaca. 2012 adalah:
1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang (Postikal).
2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
3. Kecemasan b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. Koping individu tidak efektif b.d depresi akibat epilepsi, stigma sosial yang berkaitan dengan epilepsi, penyakit yang kronis.
5. Kurang pengetahuan b.d baru pertama didiagnosa, seringnya aktifitas kejang, status perkembangan dan usia.
6. Defisit perawatan diri b.d kebingungan, malas bangun sekunder respons pascakejang (postikal).

C. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi masalah-masalah klien. ( Aziz Alimul, 2004).
Intervensi pada epilepsi adalah:
1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang (Postikal).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan keluhan nyeri berkurang dengan kriteria hasil : Klien dapat tidur dengan tenang. Wajah klien tampak rileks. Klien memverbalisasikan penurunan rasa sakit.
Intervensi :
1. Berikan lingkungan yang aman dan tenang.
2. Lakukan manajemen nyeri dengan metode distraksi dan relaksasi nafas dalam.
3. Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati.
4. Kolaborasi pemberian analgesik.
Rasional :
1. Menurunkan reaksi terhadap rangsangan eksternal atau sensitivitas terhadap cahaya dan menganjurkan klien untuk beristirahat
2. Membantu menurunkan (memutuskan) stimulasi sensasi nyeri
3. Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit atau tidak nyaman.
4. Diperlukan untuk menurunkan rasa sakit.
2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadran dengan kriteria: Klien dan keluarga mengetahui cara mengontrol  kejang. Menghindari stimulus kejang. Melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang.
Intervensi :
1. Kaji tingkat pegetahuan klien dan keluarga cara penanganan kejan
2. Anjurkan keluarga agar mempersiapkan lingkungan yang aman seperti memasang batasan ranjang atau paan pengaman dan alat suction untuk selalu berada dekat klien.
3. Anjurkan untuk mempertahankan tirah baring total selama fase akut.
4. Kolaborasi pemberian terapi, fenytoin (dilantin).
Rasional :
1. Data dasar untuk intervensi selanjutnya.
2. Melindungi klien apabila kejang terjadi.
3. Mengurangi risiko jatuh atau terluka jika vertigo, sinkope, dan ataksia terjadi.
4. Terapi medikasi untuk menurunkan respons kejang berulang.
3. Kecemasan b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan ketakutan klien hilang atau berkurang dengan kriteria hasil: Klien dapat mengenal perasaannya. Klien dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhi kecemasan atau ketakutan yang dialaminya.
Intervensi :
1. Bantu klien mengekspresikan rasa takut.
2. Lakukan kerja sama dengan keluarga
3. Hindari konflik dengan pasien dan jalin trust dengan baik.
4. Ajarkan kontrol kejang.
5. Beri lingkungan yang tenang dan suasana untuk istirahat.
6. Kurangi stimulus ketegangan.
7. Berikan penjelasan tentang keadaan klien/penyakit yang  diderita klien.
8. Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktifitas yang diharapkan.
Rasional :
1. Ketakutan yang berkelanjutan memberikan dampak psikologis yang tidak baik.
2. Kerja sama klien dan keluarga sangat penting
3. Konflik dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama dan mungkin memperlambat penyembuhan.
4. Kontrol kejang bergantung pada aspek pemahaman dan kerja sama klien. Klien dianjurkan untuk mengikuti gaya hidup rutin reguler dan sedang, diet (menghindari stimulan yang berlebuhan), latihan dan istirahat tidur.
5. Aktivitas sedang adalah terapi yang baik karena penggunaan energi yang berlebihan dapat dihindari.
6. Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
7. Keadaan tegang (ansietas, frustasi) mengakibatkan kejang pada beberapa klien.
8. Memberikan respons balik yang positif.Orientasi dapat menurunkan kecemasan.

D. Pelaksanaan
Merupakan komponen dari proses keperawatan (Potter & Perry, 2005) adalah kategori dari perilaku keperawatan di mana tindakan yang di perlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang di perkirakan dari asuhan keperawatan di lakukan dan di selesaikan. Sudut pandang teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara langsung setelah pengkajian.Sebagai contoh, implementasi segera diperlukan ketika perawat mengidentifikasi kebutuhan klien yang mendesak, dalam situasi seperti henti jantung, kematian mendadak dari orang yang dicintai, atau kehilangan rumah akibat kebakaran.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses keperawatan mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan (Potter & Perry, 2005). Evaluasi terjadi kapan saja perawat berhubungan dengan klien. Perawat mengevaluasi apakah perilaku atau respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam diagnose keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama evaluasi, perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon klien dan membandingkannya dengan perilaku yang disebutkan dalam hasil yang diharapkan.
















Artikel Terkait


EmoticonEmoticon